Apa itu sujud sahwi, apa sebab dan hikmahnya?
Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Kitab Shalat
بَابُ سُجُوْدُ السَّهْوِ وَغَيْرُهُ مِنْ سُجُوْدِ التِّلاَوَةِ وَالشُّكْرِ
Bab: Sujud Sahwi dan Sujud Lainnya Seperti Sujud Tilawah dan Sujud Syukur
Pengertian dan hukum sujud sahwi
Sahwu secara bahasa berarti lupa (an-nisyaan). Yang dimaksud dengan sahwu di sini adalah cacat atau kekurangan yang ada di dalam shalat. Sujud sahwi berarti sujud yang dilakukan karena adanya cacat atau kekurangan di dalam shalat.
Hukum sujud sahwi menurut ulama Syafiiyah: SUNNAH. Lihat Nail Ar-Raja’, hlm. 264.
Hadits tentang sujud sahwi
Hadits yang membicarakan sujud sahwi itu banyak sekali. Hadits penting yang membicarakannya adalah:
– Hadits ‘Abdullah bin Buhainah,
– Hadits Abu Hurairah,
– Hadits Abu Sa’id Al-Khudri,
– Hadits ‘Imran bin Hushain,
– Hadits Ibnu Mas’ud.
Semua hadits tersebut disebutkan dalam Bulugh Al-Maram dan akan dibahas.
Pertama: Hadits yang membicarakan sujud sahwi disebabkan karena ada kekurangan dalam shalat, yaitu dibicarakan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah. Inilah hadits pertama yang akan dibahas.
Kedua: Hadits yang membicarakan sujud sahwi disebabkan karena adanya penambahan dalam shalat seperti dalam hadits Ibnu Mas’ud. Bentuk penambahan dalam shalat adalah salam sebelum shalat itu sempurna, kemudian diingatkan, akhirnya disempurnakan. Begitu pula hadits Abu Hurairah (tentang hadits Dzulyadain, yaitu Al-Kharbaq bin ‘Amr) dan hadits ‘Imran bin Hushain membicarakan masalah ini.
Ketiga: Hadits yang membicarakan adanya keragu-raguan dalam shalat, yaitu ragu adanya tambahan atau kekurangan lalu sulit didapatkan tarjih (mana yang lebih kuat). Hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri.
Keempat: Hadits yang membicarakan keraguan adanya tambahan atau kekurangan dan bisa menguatkan (tarjih) salah satunya. Inilah yang dibicarakan dalam hadits Ibnu Mas’ud.
Hikmah syariat sujud sahwi
– Tidak ada yang selamat dari sifat lupa, mungkin saja sifat lupa muncul saat melaksanakan shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah lupa dalam shalat di mana shalat beliau kurang.
– Menggapai rida Allah Yang Maha Pengasih dengan menyempurnakan ibadah dan ketaatan.
– Menghinakan setan yang menyebabkan manusia lupa.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَكَانَ سَهْوُهُ فِي الصَّلاَةِ مِنْ تَمَامِ نِعْمَةِ اللهِ عَلَى أُمَّتِهِ، وَإِكْمَالِ دِيْنِهِمْ، لِيَقْتَدُوا بِهِ فِيْمَا شَرَعَهُ لَهُمْ عِنْدَ السَّهْوِ
“Lupanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat menunjukkan akan sempurnanya nikmat Allah pada umatnya dan sempurnanya agama Islam sehingga syariat ini bisa diikuti oleh umatnya saat mereka lupa.” (Zaad Al-Ma’ad, 1:285)
Sebab sujud sahwi
Beberapa hal yang merupakan sebab disunnahkan sujud sahwi di setiap shalat dan dalam sujud tilawah maupun sujud syukur, tetapi tidak disunnahkan pada shalat jenazah, ada empat sebab.
الأوَّلُ: تَرْكُ بَعْضٍ مِنْ أَبْعَاضِ الصَّلاةِ، أَوْ بَعْضِ الْبَعْضِ.
[1] Meninggalkan sebagian dari sunnah ab’adh atau meninggalkan bagian dari sunnah ab’adhnya.
Yaitu meninggalkan salah satu dari sunnah ab’adh yang akan datang penjelasannya, bisa jadi karena meninggalkan satu kata atau satu huruf dari sunnah ab’adh walaupun dengan kesengajaan.
Sunnah ab’adh = sunnah shalat yang bila ditinggalkan diperintahkan sujud sahwi.
Baca juga: Penjelasan Sunnah Ab’adh
الثَّانِيْ: فِعْلُ مَا يُبْطِلُ عَمْدُهُ وَلاَ يُبْطلُ سَهْوُهُ، إِذَا فَعَلَهُ نَاسِياً.
[2] Mengerjakan sesuatu yang membatalkan shalat jika dikerjakan sengaja, tetapi tidak membatalkan jika dikerjakan karena lupa dan melakukannya saat lupa.
Seperti makan sedikit, bicara sedikit, dan menambah rukun fi’li (perbuatan). Ini membatalkan shalat, tetapi bila dilakukan karena lupa, ditambal dengan sujud sahwi.
Sedangkan perbuatan yang tidak membatalkan shalat, baik sengaja atau tidak, seperti menoleh, melangkah satu atau dua langkah dan selainnya, selain apa yang tergolong sebab ketiga, maka tidak disunnahkan sujud sahwi karenanya.
الثَّالِثُ: نَقْلُ رُكْنٍ قَوْلِيٍّ غَيْرِ مَحَلِّهِ.
[3] Memindahkan rukun qauli (ucapan) ke tempat lain.
Yaitu memindahkan rukun ucapan atau sebagian darinya walaupun disengaja.
Contoh memindahkan rukun qauli ke tempat lain adalah:
- membaca surah Al-Fatihah bukan pada tempatnya, seperti membaca surah Al-Fatihah ketika rukuk,
- membaca tasyahud akhir bukan pada tempatnya seperti pada waktu berdiri,
- membaca shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan pada tempatnya seperti saat sujud.
Hal ini dikecualikan untuk takbiratul ihram dan salam. Apabila mengucapkan takbiratul ihram dan salam bukan pada tempatnya, bila disengaja akan membatalkan shalat.
الرَّابعُ: إِيْقَاعُ رُكْنٍ فِعْلِيٍّ مَعَ احْتِمَالِ الزِّيَادِةِ.
[4] Mengerjakan rukun fi’li (perbuatan) yang disertai adanya kemungkinan itu rukun tambahan.
Yang dimaksud adalah orang yang shalat melakukan rukun fi’li dari rukun shalat dan ia ragu melakukannya itu tambahan. Seperti seseorang yang ragu dalam meninggalkan rukuk atau sujud. Ia wajib melakukan rukuk dan sujud, walaupun kemungkinan itu adalah tambahan dan sunnah nantinya melakukan sujud sahwi.
Adapun apabila ia ragu ada penambahan setelah melakukan perbuatan tersebut, seperti seseorang ragu dalam tasyahud akhir, apakah ia telah mengerjakan empat ataukah lima rakaat, maka ia tidak perlu sujud sahwi untuk keraguan ini.
Referensi:
- Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:209-210.
- Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj. Hlm. 264 – 266.
—
Senin Shubuh, 10 Muharram 1444 H, 8 Agustus 2022 (Hari Asyura)
@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com